“Wong
sabar mesti keturutan....”
“Hmm... Benar nggak ya kata Pak De?” Aku menggumam sendiri
saat berkutat di depan latopku ketika mendadak kalimat Pak De beberapa bulan
lalu kembali terngiang di otakku. Waktu itu Pak De berkata begitu karena aku sedang
membujuk-bujuk Ibu supaya membelikanku hape baru. Tapi Ibu belum punya cukup
uang sehingga Ibu dan Pak De kompak menyuruhku bersabar. Ya sudah lah. Toh
sekarang hapeku sudah baru, berkat honor cerpenku yang berhasil dimuat di
majalah islami.
Ketika aku kembali sibuk mengetik di laptopku untuk
menyelesaikan artikel yang akan dimuat di majalah Pesantren, tiba-tiba suara
teriakan terdengar dari kamar sebelah.
“NGGAK MAUUU! AKU NGGAK MAU NGAJI! NGGAAAAKKK!!!!”
Aku memejamkan mata, menggeram pelan. Aku sudah hafal
dengan suara sopran yang sangat menjengkelkan itu. Dengan kesal aku bangkit
berdiri, meninggalkan kerjaannku yang belum selesai dan pergi ke kamar sebelah,
menghampiri sang pelaku teriakan barusan.
Anak itu bernama Ade. Anak baru lulusan SMP dari Jakarta
yang sangat luar biasa manja, egois, mengesalkan, menjengkelkan, merepotkan dan
sebagainya. Sejak pertama masuk ke kamar ini anak itu sudah membuat keributan
dengan mogok berkegiatan. Dia bahkan menangis sehari semalam lantaran tidak
kerasan. Dan dengan senang hati aku akan mengumumkan siapa senior yang
beruntung menjadi pengasuhnya merangkap baby sitter. AKU.
Ade menatapku dengan bibir cemberut dan pandangan bengis.
Ia lalu melengos, berusaha mempertahankan keinginannya untuk tidak mengaji.
“Ganti baju.” ujarku datar, meski dengan kekesalan yang
amat sangat mencolok dari ekspresi wajahku saat ini. “Habis itu kamu ngaji.
Hari ini jadwal Pak Haris, dan kamu ada hafalan fiqih, kan?”
“NGGAK MAUUU!” lagi-lagi Ade berteriak, membuat emosiku
semakin memuncak. Sudah berkali-kali dia mogok mengaji begini dan aku harus
membentak-bentak dia supaya luluh.
“Kalau begitu kenapa kamu masuk ke Al-Munawwir, hah?”
bentakku, nyaris hilang kendali kalau saja tidak ingat suaraku bisa terdengar
sampai Ndalem dan bisa-bisa Ibu atau Mbak Elo akan menegur lewat interkom. Dan
omong-omong, Al-Munawwir adalah Pondok Pesantren tempatku bersekolah. Sekarang
aku berada di kelas tiga Ma’had Aly.
“KARENA AKU DIPAKSA AYAH SAMA BUNDA!” balas Ade, membentak
juga.
Aku terengah-engah saking emosinya, mengepalkan kedua
tangan kuat-kuat. Tatapanku dan Ade bertemu. Aku bisa melihat percikan api
dalam bola matanya, yah seperti biasa saat dia marah padaku. Aku mengalihkan
pandangan ke arah Sarah yang sedari tadi menonton kami bentak-bentakan. Sarah
menampakkan ekspresi ayolah-aku-sudah-tidak-sanggup-menghadapi-anak-ini dan
desahan putus asa. Aku pun mendekati Ade dan anak itu refleks berdiri. Belum
sempat aku bereaksi lebih jauh, Ade keburu lari ke lantai bawah.
“AKU NGGAK MAU NGAJI! MBAK HIKMAH JAHAATTT!!!”
Anak kurang ajar! Aku membuang napas keras, mulai
frustrasi. Oke, kali ini aku akan mendiamkan anak itu dulu karena kerjaanku
sudah mencapai batas deadline.
Ade Tsani Syarifah. Anak Siapa sih dia???
~ ~ ~
Ya
Allah. Aku tahu Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk senantiasa bersabar
menghadapi ujian hidup. Tapi saat ini kesabaranku sudah habis terkuras!
Sejak dua jam tadi aku mencari-cari flash disk-ku
yang berisi data-data penting soal tim Redaksi Majalah Pesantren dan
artikel-artikel yang kukerjakan seminggu ini dengan mati-matian. Aku ingat
menaruhnya di atas lemari saat aku mandi jam empat sore tadi. Tapi entah kenapa
mendadak benda itu hilang. Aku sudah hampir gila mencarinya ke mana-mana.
Sampai-sampai Arifah dan Roif ikut membantuku mencari. Mereka tahu aku butuh flash
disk itu segera karena besok ada rapat tim Redaksi dan mereka membutuhkan
kerjaannku. Tapi sekarang? Hidupku serasa hampir kiamat total!
Dan setelah dua jam mencari ke seluruh kawasan komplek R1,
komplek yang kutinggali, tiba-tiba saja Ade menghampiriku. Aku meliriknya
sinis. Anak itu malah memasang wajah polos, membuatku ingin mengusirnya kalau
saja dia tidak punya tampang imut.
“Ada apa?” tanyaku galak, karena amarahku belum reda
gara-gara anak itu mogok mengaji kemarin.
“Mbak nyari flash disk ya?”
Seketika sepasang mataku menyipit tajam menatapnya. Aku
sedikit curiga. “Iya. Kamu lihat?”
“Sebenranya...” Ade memainkan ujung rambutnya sambil
menatap langit-langit kamar. “Aku tadi pinjam buat nonton film di laptopnya Mbak
Okta.”
“Terus di mana sekarang?” aku sudah berdiri menghadap Ade
dalam jarak dekat. Aku tahu sekarang pasti wajahku seperti nenek lampir yang
sedang murka. “Kenapa kamu pinjam tanpa izin?!” lanjutku, masih dengan nada
tinggi.
Ade menunduk, tapi aku bisa melihat tidak ada raut
penyesalan atau bersalah di muka imut-tapi-memuakkannya itu. “Aku nggak tau,
pas mau aku balikkin, tau-tau aja udah nggak ada.”
“APA?!!” jeritku. Lebih ke marah dari pada kaget. Bagaimana
bisa kaget kalau aku sudah tahu flas disk-ku hilang sejak dua jam yang
lalu?
Ade menyipit, dan tambah menunduk. Tidak mengatakan
apa-apa.
Aku benar-benar kehilangan kesabaranku! Anak ini
keterlaluan. “Kamu tau nggak sih, di flash disk itu ada dokumen penting
dan harus kuserahin besok ke tim Redaksi Majalah Pesantren!” pekikku. Ade diam
saja. “Aku udah kerjain mati-matian dan kamu dengan seenak jidat malah
ngilangin flash disk-ku! Pake pinjam tanpa izin segala!”
“Ta...”
“Diam!” potongku saat kulihat dia ingin membela diri. “Mbak
akan hukum kamu, mengerti? Tidak ada kata tidak.” setelah mengatakannya, aku
pergi meninggalkan Ade untuk mencari obat pereda sakit kepala. Sabar? Sabar?
Nggak tau ah, Pak De! Rasanya aku ingin membenturkan kepala ke tembok kamar
saja!
~ ~ ~
Hukuman
yang aku berikan kepada Ade adalah bersih-bersih kamar satu dan kamar dua serta
seluruh kamar mandi dan tangga. Sebetulnya rekan-rekan sesama senior tidak
setuju dengan hukuman yang kuberikan. Tapi karena mereka tahu bagaimana anak
bernama Ade Tsani Syarifah itu menyiksaku dari awal dia menginjakkan kaki di
komplek ini, mereka tidak jadi mengajukan keberatan. Sementara terpidana tentu
saja protes keras.
“Aku nggak mau! Mbak Hikmah jahat! Di rumah aja aku nggak
pernah disuruh buat bersihin kamarku sendiri!”
Aku tidak menggubris protesnya sama sekali. Serius dengan
kegiatanku memakai kerudung di depan cermin. Ada kelas sore ini dan aku tidak
mau terlambat gara-gara anak kecil yang sudah membuat hidupku jadi berantakan
itu. Setelah menyematkan jarum di bawah dagu, aku merapikan baju dan rokku,
lalu mondar-mandir di depan rak buku, mencari kitab sesuai jadwal sore ini.
“Mbak Hikmah dengerin aku nggak sih? Aku nggak mau
dihukum!” seru Ade, mulai merajuk. Dasar manja, gerutuku dalam hati. Setelah
berhasil menemukan kitab yang kucari, aku meninggalkan Ade dengan cuek. Aku
sempat mendengar teriakannya.
“Mbak Hikmah jahaaat!”
Ya, kalau aku kejam terhadap anak kurang ajar sepertimu,
memangnya salah siapa?
~ ~ ~
Sepulang
dari mengaji, aku melihat Ade sedang mengepel tangga yang menuju lantai tiga.
Aku mengulum senyum. Susi memberi tahuku kalau tadi Sarah memarahinya karena
dia menghilangkan ember milik Sarah yang dipinjamnya untuk mencuci pakaian. Dan
dengan tingkat kegalakan yang nyaris setara denganku, Sarah menyuruh Ade untuk
mengerjakan hukuman yang kuberikan pada anak itu. Hasilnya? Lihat saja
sekarang.
Keesokan harinya aku melihat Ade merapikan kamar sendirian,
sedangkan anak-anak lain masih setengah melek karena baru dipaksa bangun. Aku
tersenyum tipis kali ini, senang membuat anak bengal itu tersiksa. Biar saja,
toh itu akibat dari perbuatannya.
Dan selama tiga hari Ade benar-benar melaksanakan
hukumannya dengan baik. Sampai akhirnya anak itu jatuh sakit. Sarah yang
memberti tahuku ketika aku baru pulang dari rapat Redaksi.
“Ade demam. Kayaknya kecapekan ngerjain hukumanmu, Mbak.”
Aku tertegun. “Sudah diberi obat?” tanyaku sembari berjalan
ke kamar sebelah, kamar Ade. Sarah mengikutiku.
“Sudah. Tapi dia nggak mau makan.”
Aku menghela napas begitu sampai di kamar dua. Aku
menghampiri Ade yang sedang tertidur di pojok kamar beralaskan kasur tebal
miliknya lengkap dengan selimut yang menutupi tubuhnya sampai dagu. Di dahinya
ada handuk untuk mengompres demamnya. Aku duduk di sebelah anak itu, mengecek
suhu badannya. Panas sekali.
“Emmhh...” Ade mengerang saat aku mengentuh dahinya.
“Ade.” panggilku setengah berbisik. Anak itu membuka mata.
Mendapati diriku sedang mengompres dahinya.
“Mbak...” gumamnya lirih.
Aku tersenyum tipis. “Mau makan apa?”
Ade menggeleng.
“Kamu harus makan.” tegasku. Ade mendesah pelan. “Kamu
kecapekan ya gara-gara hukuman Mbak?” tanyaku. Tentu saja dengan nada lembut,
tidak galak seperti kemarin.
Ade hanya mengangguk.
“Maaf ya.” kataku, sungguh-sungguh. Aku tidak tega melihat
anak kecil seperti dirinya jatuh sakit gara-gara hukuman yang aku berikan.
“Mbak marah sama kamu waktu itu karena kamu meminjam tanpa izin dan
menghilangkan flash disk. Juga karena kamu nggak mau mengaji.”
“Aku tau.” sahut Ade. Tapi tidak nyolot seperti biasa. Ia
malah tampak menyesal. “Maaf ya Mbak.”
Aku tersenyum lebih lebar. “Kamu harus janji, mau mengaji
setelah kamu sembuh. Dan kalau mau pinjam sesuatu harus izin terlebih dahulu.
Yaah paling tidak kalau kamu tidak sempat izin kamu bisa bertanggung jawab
mengembalikannya dalam keadaan utuh.” nasihatku.
Ade mengangguk. “He-emmm...”
“Dan satu lagi. Kamu harus makan.”
Ade mengerang tapi tidak menolak. Aku menyuapinya sambil
menahan senyum. Kalau dipikir-pikir, kesabaranku belum habis sepenuhnya.
~ ~ ~
Apanya
yang belum habis?! Kurasa aku benar-benar kena kutukan karena mendapat tugas
untuk mengasuh Ade!
Lihat saja, anak itu sedang apa!
Lihat saja, anak itu sedang apa!
“Gus Dzakwaaan! Gus Bakwaaan! Gus Wawaaan!” Ade berteriak
memanggil-manggil Gus Dzakwan, cucu Pak Najib sang pengasuh Pondok Pesantren
sekaligus guruku di jurusan Hufadz. Padahal Gus Dzakwan sedang bersama Bu
Najib! Arrgggh! Aku bingung bagaimana harus menutupi mukaku. Aku berinisiatif
kabur tapi Bu Najib keburu memanggilku.
“Ada Mbak Hikmah ya.”
Tentu saja dengan berat hati aku menghampiri Bu Najib lalu
mencium tangan beliau sambil tersenyum-senyum jengah. Sedangkan Ade tambah
mempermalukanku dengan berjingkrak-jingkrak dengan Gus Dzakwan dan Ning Kayis.
“Anak baru ya, Mbak?” tanya Bu Najib sambil melirik ke arah
Ade. Ramah. Halus. Lembuuut... Orang Solo...
“Eh, iya Bu.” jawabku tergagap masih dengan senyuman
blo’onku. Ya Allah aku pengen ditelan bumi saja! Memalukan!
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar