Mimpi Itu Nyata


Jum’at, 2 juli 1976
Siang itu langit tampak begitu sayu, menenggelamkan cahaya ceria sang matahari yang biasa menjadi salah satu dari bentuk kemurahan ilahi untuk para makhlukNya. Memancarkan aura untuk menghangatkan bumi se isinya.
Aku Fahri Muhammad Fatih, saat itu masih santri tahun awal di madrasah hufadz al-munawwir. Selepas sholat Jum’at di masjid yang sudah amat mendarah kenangannya bagi ku, bangunannya yang begitu besar, dengan pintu amat lebar seakan menyiratkan kata “ahlan wa sahlan” bagi para penyeru panggilan dari TuhanNya secara lapang, dan juga aura kesejukan yang tidak mengenal waktu, walau ditengah teriknya matahari membakar dan hembusan angin kering membawa hawa panas, masjid itu tetaplah menorehkan ketenangan yang membawa angan bahwa kita sedang berada dalam taman dengan payung pohon pohon rindang dan menjadikan euphoria kesejukan alami bagi yang berteduh di dalamnya. Aku masih terduduk di lantai sebuah masjid besar dengan penuh ketentraman itu, masjid yang tepatnya berlokasi di dalam komplek pondok pesantren al-munawwir, dengan sebuah Al-Qur’an yang ada dalam genggaman. Perlahan tapi pasti aku melantunkan, dan menghafalkannya sebaris demi sebaris sembari meresapi kelembutan isi ayat-ayat cintaNya, surat Muhammad yang salah satu ayatnya selalu aku jadikan penguat dalam kehidupan.

"Hai orang-orang mu'min, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." Qs. Muhammad ayat 7

Menolong agama Allah dengan mencari ilmu, belajar di pondok ini supaya aku menjadi orang beriman yang juga berilmu, agar ketika beribadah tau tentang dasarnya, dan ketika bercita cita besar untuk lebih mengembangkan pondok ini, nantinya bisa benar benar di terima oleh segala kalangan karena ilmuku, karena kesantunanku,
Lantunan ayat al-Quranku terhenti ketika melihat pak kyai lewat, dengan berhati hati menutup kitab suci itu kemudian berjalan mendekati beliau
“Assalamu’alaikum pak kyiai” dengan sedikit merunduk dan juga mencium tangan beliau
“wa’alaikumussalam warahmatullah” beliau menjawab dengan suara khasnya yang berwibawa penuh kelembutan, menyiratkan kasih sayang dan kesabaran dalam mendidik santrinya, dan kesabaran mengemban amanah bertanggung jawab terhadap pondok ini. Pak kyai pun berkata lagi
“isih nderes to le.. sregep tenan kowe iki nek bapak tingali”
“injih pak, kawula pengin dados hafidz 1tahun mengajeng” aku menjawab dengan kemantapan cita cita dan berharap pak kyai meng aamiini “ugi kula kepengin dados ahli tafsir lan fiqih pak kyai, nyuwun pandunganipun…”
“aamiin, sik penting istiqomah le, lan kowe nglakoni uripmu nganggo ilmu. Sakabehane tindak tandukmu kowe kudu ngerti ngilmu ne insyaAllah Allah ridho karo lakonmu uga ora mustahil cita-citamu sakkabehane bakal kecandak” nasehat pak kyai dengan tegas dikala itu, sebelum ahirnya beliau masuk ke ndalemnya dan hujan pun turun mengguyur kota Yogyakarta menambah kesyahduan lantunan ayat al qur’an yg masih aku teruskan sampai ashar menjelang.

6 tahun kemudian…
Sejak saat itu, karena kebiasaan ku nderes di manapun dan kapanpun demi mewujudkan cita-cita menjadi hafidz dalam satu tahun, aku pun bukan hanya bisa mewujudkannya tetapi juga aku sudah sampai jenjang ma’had ali sekarang, ditambah lagi dengan kuliah formal fakultas statistika sebuah universitas di jogja dan hal bahagia lainnya yg membuat tenang hati dan jiwaku adalah semakin dekatnya aku dengan pak kiayi juga guru pengasuh lainnya, seperti yang dikatakan ayahku sebelum aku berangkat ke pondok ini
“suhbatul ustadzi le.. kelak ilmu mu akan baarakah”
Dengan dekatnya beliau beliau yang aku anggap sebagai orang luar biasa ini, aku bisa lebih banyak belajar, diskusi hal yg masih belum aku fahami aaupun masih aku ragukan, juga sampai tak jarang aku meminta jalan keluar atas masalah pribadi ku kepada beliau, sampai ahirnya suatu hari aku di dawuhi pak kyai untuk ke ndalem. Firasatku mengatakan ada hal yang sangat penting pasti akan dikatakan..
“assalamu’alaikum pak kyai” aku mengucapkan salam dengan melembutkan suara sedikit lebih halus dari biasanya.
“wa’alaikumussalam warohmatulloh.., rene mreneo lungguh jejerku kene” ujar pak kyai yang rupanya sudah duduk menunggu di kursi ruang tamunya.
“wonten nopo nggih, Kawula di timbali bapak? Aku bertanya dengan penuh rasa penasaran yg sedikit aku kubur di depan pak kyai.
“aku pengen ndawuhi kowe dadi penanggung jawab kegiatan kegiatan santri nang kene, al-munawwir sak kabehane, ora mung komplek iki wae” ujar pak kyai dengan penuh rasa kepercayaan dan harap.
“inggih pak kyai” hanya kata itu yg bisa keluar dari lidahku yang kelu, dalam fikiran aku bertanya “bukankah ada banyak kakak yg sudah lebih lama berkiprah di pondok ini? Mengapa bukan mereka? Atau para asatidz yg masih muda belia dan kurasa mereka masih mampu mengemban amanah ini.” Tapi lagi lagi hati kecilku berkata “takdzim terhadap guru, terhadap sesepuh itu lebih utama. Dan bukankah Allah tidak membebankan sesuatu kepada makhukNya melainkan makhluk itu dapat menanggung beban yg di berikan dari Allah?” aku pun memantapkan hati, mulai meniti satu persatu rencana untuk benar-benar mengembangkan pondok ini. “Bukankah itu juga satu dari slah satu cita-cita besar yg dulu pernah kau rancang?” kataku dalam hati.
Satu dari rencana itu adalah aku bisa mendirikan kopontren, sedikit demi sedikit aku merekrut teman teman yang sekiranya punya visi dam semangat yang tinggi juga tidak ketinggalan soal tanggung jawabnya. Musyawarah demi musyawarah, pertemuan, diskusi, semua lalu lalang beban berat dan bahkan tak jarang banyak batu dalam perjalanan merintis kopontren ini sampai akhirnya tinggal di sowankan ke pengasuh komplek al munawwir dan kemudian ke pak kiayi, aku merasa sudah tidak kuat dan sakit.

Ahad 12 september 1982
Tepat di hari ulang tahunku aku terbaring lemah di rumah sakit, dokter mengatakan aku sakit tifus mungkin karena tubuhku yang terlalu terforsir untuk banyak hal, mulai dari pagi sampai siang sore kuliah formal, sorenya belajar di pondok, malamnya menyelesaikan tugas kampus dan juga belajar kitab kitab yg aku masih belum fahami, belum lagi menyelakan waktu untuk amanah pondok pesantren juga agenda pribadiku. Tidak hanya tifus, tapi maag pun ada karena pola makanku yang tidak menentu dan ganjalan mie instant yang bertubi tubi.
Uang tabunganku banyak terkuras untuk biaya pengobatan, dan obat herbal yg harus rutin aku makan untuk mempertipis kambuhnya penyakitku lagi, madu dan segala macam untuk mengimbangi asupan gizi dengan tenaga yang keluar setiap hari nya, aku merasa sebatang kara, orang tua jauh di kampong halaman. Kalau harus merepotkan mereka aku tidak tega, untuk biaya transportasi ke sini saja mahal, lebih baik untuk mencukupi saudara ataupun tetangga yang masih lebih banyak membutuhkan daripada kami.
Sungguh aku bingung, sudah setengah tahun aku vakum dan setengah tahun pula semangat semuanya menjadi lebih surut. Cita cita yang tadinya benderang seakan meredup, terbang dibawa angin basah yang mulai pergi meninggalkan jogja, kemudian membawa hujan di lain dunia.
Rasanya sudah tak mungkin untuk mewujudkannya lagi, hingga suatu hari aku kembali di dawuhi pak kyai untuk ke ndalemnya..
Dan dirumah yang masih sama ketika dulu aku diberi amanah organisasi santri pondok ini, pak kyai dawuh
“le…aku lihat kamu butuh sekali orang yang bisa selalu menemanimu, dan menyanggamu dikala kondisimu seperti ini. Aku lihat kamu tidak seperti dulu, mungkin juga karena pengaruh kondisi badanmu yang harus lebih banyak di perhatikan ya?” pak kyai memberikan pandangannya tentang diriku sekarang. Dan lagi lagi aku hanya bisa berkata
“inggih pak kyai” karena memang begitu adanya. Pak kyai pun melanjutkan pembicaraannya
“mungkin aku bisa menolongmu dengan memberikan teman yang akan selalu mensuport kamu di setiap waktu, menopang mu dikala sedang lemah, dan bapak rasa dia tidak akan meninggalkanmu”
Aku mulai penasaran dengan arah pembicaraan pak kyai ini, tapi tetap saja ku dengarkan dengan penuh takdzim. Hingga petir kedua yang lebih besar datang lagi di rumah ini, dan di ruang ini pula ketika ahirnya pak kyai mengatakan
“apakah kamu sudah siap untuk menikah? Bapak akan menikahkan mu dengan keponakan ku, dia seorang yang sholihah juga hafidz”
Rasanya adalah campur aduk, tapi sungguh saat itu aku mngucap syukur yang terus mengalir, tidak menyangka aku akan mempunyai seorang istri yang sholihah, dari nasab yang sudah tidak diragukan lagi, hafidz pula, masyaAllah.. Allah memang maha pemurah kepada setiap hambnya yang taat dan sabar.
Selang satu bulan setelah pembicaraan itu aku benar benar menikah, dengan sebuah kesederhanaan, bukan karena tidak sanggup untuk hajat besar besaran tapi kami sadar masih banyak tanggung jawab pondok yang sudah lama tertunda dalam waktu setengah tahun lebih ini, dan kami harus segera mengejarnya, cita cita itu, harapan besar untuk mengembangkan pondok kami..
Seperti lilin yang sudah padam, namun masih ada satu lilin milik pak kyai yang beliau sentuhkan di sumbu lilinku, sehingga lilin yang ku punya nyala kembali, semangat itu, berkobar sampai ahirnya mengobarkan seluruh lilin yang sempat mati.
Hingga pada suatu hari 1 Juli 1983 setelah di sowankan kesana kemari, kopontren benar benar berdiri. Pada masa awal usaha kopontren hanya melakukan penjualan kertas surat dan amplop yang berkop pondok pesantren Al-Munawwir, kitab-kitab, dan makanan ringan. Namun karena keprofesionalitasan kerja kami yang dirasa mengundang hati para santri untuk turut brgabung juga dengan kesadaran bahwa kegiatan pengelolaan koperasi di lingkup pondok pesantren adalah sesuatu yang sangat berguna.
Cita cita yang dulu pernah aku rangkai itu, sekarang jika di andaikan matahari ia sudah mulai naik keatas mendekati waktu tepatnya tidak ada bayangan.
Satu persatu butiran keringat yang bercecer entah dimana itu, sepertinya mengadu kepada Tuhanku akan kerasnya perjuangan ku, termasuk perjuangan merintis sebuah kopontren yang ahirnya tidak ada yang meragukan, termasuk pemerintah, sebagai bukti kopontren kami mendapat badan hukum dengan nomor 1753/BH/XI tertanggal 23 September 1994.
Aku tidak pernah tau bahwa Allah menyempatkan menggoreskan skrip naskah ter indah dalam hidupku, ternyata memang benar kata ayahku, orang tua yang tidak pernah aku berani mengingkarinya ternyata di balik nasihatmu bukan hanya ada guru yang luar biasa sabarnya mendidikku tapi juga terdapat bidadari yang sekarang selalu mengisi separuh imanku. Dan juga aku tidak pernah berfikir bahwa Allah mengirimkan seorang guru dengan sebuah keberkahan di dalamnya, entah dari asatidz yang mana sehingga aku bisa tertular banyak keberkahan dalam hidupku, yang jelas sekarang aku benar benar tersadar bakti terhadap guru, bu nyai, pak kyai itu adalah termasuk salah satu sarana pemulus keberkahan dalam hidupku. Takdzim terhadap semua guru yang Allah kirimkan untukku, itulah yang terpenting. Dan kemudian engkau benar benar menunjukkan kebesaranMu yang nyata sehingga aku tak bisa sedikitpun tak percaya kepada janjimu, dan janji akan syurgaMu
~rabbishrahlii shadri, wayash shirlii amrii, wahlul ’uqdatan mil lisaani yaf qohuu qouli~
TAMAT



created by: Annisa N

Tidak ada komentar:

Posting Komentar