FATIMAH DAN TOKO KITAB

Hari Sabtu, seorang laki-laki bertopi abu-abu yang sering ku lihat di emperan masjid setiap menjelang subuh sekarang tak lagi terlihat batang hidungnya. Ia, lelaki berkulit hitam, rambut ikal hampir sebahu, memakai jaket kulit hitam telah pergi entah kemana. Adzan subuh berkumandang di masjid Al-Munawwir, ia, lelaki bertopi abu-abu bergegas mengambil air wudhu lantas bergegas pergi setelah do’a dari imam shalat selesai.            

Sudah lima kali perputaran hari sabtu setiap minggu, setiap itu pula aku melihatnya duduk di teras masjid dengan tas punggung berwarna hitam. Sesekali mengeluarkan beberapa lembar kertas, ku taksir seperti do’a-do’a yang dikemas dan dikumpulkan menjadi sebuah bundel amalan-amalan do’a setiap hari. Menghadap kiblat, komat-kamit membaca do’a yang mana sebelumnya dia melaksanakan shalat dua rokaat. Sebenarnya tak sengaja melihat aktifitas dia, laki-laki bertopi abu-abu. Hanya saja setiap subuh menjelang aku memergokinya dalam keadaan yang sama dengan malam-malam sebelumnya. Seorang santri yang ketiduran atau memang sengaja tidur di masjid sudah bukan hal yang aneh lagi. Kebiasaan malam begadang untuk nderes alqur’an, belajar atau banyak juga yang sekedar ngobrol-ngobrol dan lain sebagainya. Aku sendiri tak ayal sering demikian, niatku sih sebenarnya supaya tidak kesiangan bangun shalat subuh. Meski terkadang sampai dibangunin teman-teman yang akan jama’ah shalat subuh. HheheAku, Husein Ahmad, santri di salah satu komplek Pondok Pesantren Al-Munawwir. Lima tahun di sini, entah setiap pukul 4 pagi, aku sering keluar mencari angin segar dan melepas penat meski hanya dengan jalan-jalan saja mengitari masjid. Suasana yang tenang dan damai ku rasakan di waktu ini. Biasanya aku bersama dengan seorang teman, tetapi tak selalu demikian, bahkan lebih sering sendiri. Dan sudah beberapa malam, aku melihat hal yang tidak biasa ku alami sebelumnya. Dia, lelaki bertopi abu-abu muncul setiap subuh menjelang, dan secara tidak langsung, hatiku tergerak penasaran untuk mengetahui. Sebenarnya apa yang dia lakukan beberapa waktu ini. Awalnya ku kira, mungkin dia adalah musafir yang sengaja mampir untuk shalat subuh lantas pergi untuk melanjutkan perjalannanya. Namun setelah beberapa kali ku pergoki dia dalam keadaan yang sama, urung aku berfikir demikian. Kali ini ku beranikan diri bertanya padanya, 
“Maaf Mas, assalamu’alaykum, darimana ya?”. Takut mengagetkannya, aku beringsut pelan-pelan mendekatinya.
Ia hanya tersenyum simpul sambil menatapku, lalu kembali menatap kertas-kertas, yang ku lihat bertuliskan shalawat Nabi. Lantas menoleh,
”Wa’alaykumsalam, iya nak, saya dari Wonogiri, keliling ya nak?”.
“I i ya Mas, sering ke sini nggih Mas?”. Aku menunggu jawabannya, tak lama kemudian mengangguk pelan. Kira-kira lima belas menit lagi adzan subuh berkumandang. Mungkin tau apa yang hendak aku tanyakan, ia mulai bercerita,
”Nak, sudah 35 tahun saya meninggalkan pondok ini, entah seminggu yang lalu rindu yang sangat melanda hati ini, ingin mengunjungi tempat yang telah membesarkanku, menemukan jati diriku, hingga ku temukan jodoh dari Allah juga di sini. Alhamdulillah masih diberikan umur untuk sowan kepada masyayikh”. Sambil berkaca-kaca, ia meneruskan ceritanya.            
“Aku mengenalnya saat berada di tahun terakhir aku di pondok ini, setiap kali aku membeli kitab di toko buku pesantren, ku harap akan bertemu dengannya. Dia anggun dan menentramkan hati, setelah ku tau dari teman-temanku dia bernama Fatimah, Fatimah Az Zahra lengkapnya. Aih, elok nian nama dan parasnya. Menjelang siang dia bekerja di toko kitab sampai lepas ashar. Tiga tahun aku menunggunya untuk bisa menyampaikan apa maksud hatiku, gayung bersambut. Ternyata Fatimah menerima pinanganku. Senangnya bukan main mendapatkan apa yang selama ini kuinginkan. Malam-malam sepi bergelayut berubah menjadi cahaya terang benderang. Ia sering bercerita tentang pengalaman-pengalamannya. Di dawuhi Mbah Yai untuk menjaga toko kitab selama kurang lebih empat jam setiap hari adalah yang sering ia ceritakan. Ia merasa bahwa berbakti kepada Guru adalah hal terpenting dalam hidupnya selain berbakti kepada orang tuanya. Dengan mendapat barokah dan ridha dari orang tua dan guru, hidup terasa lebih menentramkan hati, kata-kata itu yang sering ia ucapkan padaku setiap hari. Sepuluh tahun berlalu, kami tak kunjung mempunyai buah hati, mungkin memang Allah belum mengizinkan kami untuk menjaga amanah-Nya. Alhamdulillah, Fatimah tak pernah sedikitpun mengeluh. Pelajaran berharga yang kudapat dari istriku adalah kesabarannya menghadapiku. Dokter bilang, istriku tak bisa mempunyai anak karena rahimnya yang sangat lemah. Namun tak pernah sedikitpun terbersit di hatiku untuk menduakannya. Sebulan yang lalu, istriku pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Waktu itu, tiba-tiba ia sakit perut yang begitu hebat dan dua jam kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya”. Sebentar menghela nafas panjang, mengusap air matanya dan aku hanya bisa tergugu mendengarkan ceritanya.
Allahu akbar, allahu akbar
Adzan subuh berkumandang, Mas bertopi abu-abu segera mengajakku berwudhu dan menunggu Imam datang ke masjid. Dan mulai pagi itu, aku tak pernah lagi melihat seorang laki-laki bertopi abu-abu datang berkunjung ke msjid ini setiap pagi. Aku hanya bisa mendo’akan, semoga diberikan ia kesabaran dan ketabahan. Aku mangut-mangut, toko kitab telah menjadi saksi bisu cerita cinta mereka. Ahh, nyatanya cinta bisa muncul dari mana saja, hal apa saja, dari keadaan apa saja. Dengan lenggangnya, sambil senyum mengambang, aku berjalan gontai menuju asrama. Bersiap-siap untuk mengaji. 


-TAMAT-


Created by: Hikmah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar